Sunday, October 25, 2009

Bijakkah Lidah Kita?

Worte können verletzen.
Auch mich.

("Soziale Manieren für eine bessere Gesellschaft", kampanye Caritas)
http://www.soziale-manieren.de
http://www.caritas.de

Tulisan berikut dari PA Perki Bremen yang dipimpin Yadi Rayendra mengenai kata-kata yang keluar dari mulut. Ada pepatah yang mengatakan bahwa lidah lebih tajam daripada pedang.

***

Renungan Ibadah Perki (15 Oktober 2006)
Oleh: Yadi Rayendra

Mengapa lidah, mulut atau bibir kita menjadi topik yang begitu penting untuk dibicarakan atau didiskusikan? Topik tentang menjaga lidah bukan merupakan hal yang baru. Tetapi mengapa begitu penting untuk terus diingatkan tentang bagaimana kita menjaganya dengan bijak? Fakta memperlihatkan bahwa orang yang suka berbicara diperkirakan melontarkan 30.000 kata setiap hari! Artinya, kita menghabiskan banyak waktu dalam hidup kita hanya untuk bicara. Pertanyaannya adalah, bagaimana perkataan kita, entah banyak maupun sedikit, mempengaruhi sesama kita?


Selanjutnya, kita diajak untuk menyadari bagaimana kekuatan lidah kita, baik yang bersifat positif maupun negatif mempengaruhi kehidupan kita ataupun sesama kita. Tuhan Yesus mengungkapkan dalam Matius 15:18-20: "Apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, kesaksian palsu dan hujat. Hal-hal inilah yang menajiskan orang". Disini dengan tegas Yesus mengatakan bagaimana besarnya pengaruh atau kuasa dari kata-kata yang keluar dari mulut kita. Ternyata, disadari atau tidak lidah yang sama dari satu mulut yang sama bisa berfungsi untuk mendatangkan berkat atau kutuk bagi diri kita atau sesama kita.


Raja Salomo dalam Amsal 10:19 menulis, "Siapa yang menahan bibirnya, berakal budi". Namun, di lain pihak Yakobus berkata, "Tidak seorang pun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan". Disini Rasul Yakobus menegaskan bahwa tidak mudah bagi kita untuk mengendalikan lidah kita dengan kekuatan kita sendiri. Lidah disini digambarkan sebagai sesuatu ang buas, penuh racun yang mematikan. Lebih jauh, Yakobuspun mengatakan bahwa dengan lidah kita memuji Allah yang menciptakan kita, dengan lidah pula kita mengutuk manusia yang diciptakan-Nya. Masalah dengan lidah ini jelas-jelas oleh Yakobus ditujukan kepada orang percaya.


Tidak adanya penguasaan lidah bisa digambarkann sebagai suatu penyakit. Seringkali diagnosa suatu penyakit dapat dilakukan hanya dengan melihat bagian dalam mulut seseorang. Beberapa penyakit dapat diketahui dengan memeriksa keadaan lidah. Hal serupa juga dapat dilakukan untuk memeriksa kesehatan rohani seseorang. Tutur kata yang diucapkan seseorang akan mencerminkan apa yang ada dalam diri orang itu. Yesus dalam Matius 12:34 berkata, "Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati".


Penulis kitab Amsal, dalam Amsal 13:3 berkata, “Siapa menjaga mulutnya, memelihara nyawanya, siapa yang lebar bibir, akan ditimpa kebinasaan” dan dalam Amsal 18:6 berkata “Bibir orang bebal menimbulkan perbantahan, dan mulutnya berseru meminta pukulan”. Betapa banyak kesulitan yang dapat dicegah jika kita mau belajar mengendalikan lidah kita! Betapa banyak sakit hati yang kita sebabkan bagi orang lain dapat dicegah jika kita mau menjaga perkataan kita!


Bagaimana kita mengendalikan lidah kita agar perkataan kita bisa menjadi berkat dan bukan menjadi batu sandungan bagi orang lain? Salomo menulis dalam Amsal 12:18: "Lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan“. Kata kunci dari ayat tersebut bukanlah lidah melainkan bijak. Lidah tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, karena lidah hanya berfungsi bila kendali pemiliknya diaktifkan. Untuk dapat menjadi bijak mengontrol dan menggunakan lidah kita, tentu kita perlu dokter yaitu Allah kita, Yesus Kristus. Rasul Paulus dalam Roma 6:13 berkata bahwa kita perlu memilih untuk menyerahkan anggota-anggota tubuh kita "kepada Allah untuk menjadi senjata senjata kebenaran," bukan "kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman." Jadi kata kuncinya adalah, kita dengan sadar memilih untuk menyerahkan lidah kita pada tabib Agung, yaitu Allah kita untuk dapat disembuhkan dan digunakan sebagai senjata kebenaran dan bukan sebagai senjata kelaliman. Jadi, bila kita ingin bijak, kita datang kepada dokter sumber kebijakan itu, yaitu Tuhan Yesus Kristus sendiri.


Berikut ini ada beberapa penerapan praktis yang dibagikan oleh Richard De Haan.

1. Menyerahkan anggota tubuh kita kepada Tuhan, termasuk lidah kita. Sebagai ayat yang bisa menolong kita, kita bisa lihat di Roma 12:1. Di sana Rasul Paulus mendorong kita untuk menyerahkan anggota tubuh kita, sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah, agar dipakai sebagai alat yang membawa berkat. Dengan menyerahkan tubuh kita, termasuk lidah kita, kita sedang dengan rendah hati membiarkan Tuhan memakai tubuh kita sebagai sesuatu yang menyenangkan dan ibadah bagi Dia.

2. Memohon pertolongan dari Tuhan setiap saat. Dalam hal ini, kita bisa mengikuti teladan raja Daud. Dalam Mazmur 141:3, Daud meminta/memohon pertolongan Allah untuk "mengawasi" mulutnya dan "berjaga pada pintu" bibirnya. Kita semua tahu bahwa Daud adalah seorang raja yang bijak, yang mengasihi Allah, yang hidupnya selalu berpadanan pada kehendak Allah. Tetapi, dia tetap rendah hati untuk meminta dan senantiasa melibatkan pertolongan Tuhan dalam menjaga bibir dan lidahnya, karena dia sadar dengan kekuatannya sendiri, dia tak sanggup menjaga lidahnya. Dia pun sadar bahwa lidahnya bisa menjadi berkat, bila Allah bersemayam dan berjaga di pintu bibirnya. Hal ini bisa mendorong kita, yang sedang terus belajar bertumbuh di dalam Allah untuk mengikuti teladan Daud, untuk dengan rendah hati senantiasa meminta pertolongan Tuhan untuk mengawasi mulut dan berjaga pada pintu bibir kita.

3. Berpikirlah sebelum kita membuka mulut dan belajarlah untuk sedikit berbicara. Sebelum kita melontarkan rentetan kata-kata yang bisa menjadi batu sandungan, ada baiknya kita diam sejenak dan mempertimbangkan kata-kata kita di dalam hati. Sebagai penerapan praktis, kita bisa menaruh ayat-ayat Firman Tuhan di dalam hati dan mulut kita yang bisa meneguhkan atau mengingatkan kita tentang bagaimana menggunakan lidah. Dengan mengingat ayat-ayat dari Firman Tuhan, kita berarti sedang mengisi diri kita sehingga kita bisa lepas dari ancaman si iblis.


Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tutur kata kita banyak berbicara tentang jati diri kita. Aksen kita menunjukkan negara atau daerah asal kita. Kata-kata kita mengungkapkan tingkat pendidikan atau budi bahasa kita. Topik diskusi kita menunjukkan minat utama kita dalam kehidupan, karena biasanya kita membicarakan hal-hal yang paling kita sukai. Dan, percakapan kita mengungkapkan tujuan kekal kita, karena orang-orang yang akan ke surga berbicara dengan "bahasa kemuliaan." Sebaliknya, orang-orang yang akan ke neraka berbicara dengan "bahasa kesesatan." Setelah ini, pilihan sepenuhnya ada di tangan kita. Bagaimana dan kemana akan kita bawa tujuan hidup kita, tergantung pada pilihan kita untuk mengendalikan diri kita, termasuk lidah kita. Tetapi satu yang bisa kita pegang, Tuhan Yesus selalu ada di sana dan mampu menolong kita untuk bisa menjaga lidah kita dengan bijak.


Bahan renungan diambil dari berbagai sumber di http://www.sabda.org/

***

dikomentari oleh iscab.

No comments:

Post a Comment